Agroindustri:

Latar Belakang dan Proyeksi ke Depan
   

Fakta sejarah telah menunjukkan bahwa industrialisasi rezim Orde Baru mengarah pada industri yang berbasis pada relokasi teknologi tinggi hasil import, dan tentu saja mengesampingkan industri yang berpijak kuat pada kemampuan dalam negeri.

Kenyataan ini makin terlihat menyedihkan manakala subsidi APBN ke sektor pertanian sangatlah kecil. Implikasi dari fenomena tersebut adalah gagalnya agroindustri sebagai pilar utama perekonomian bangsa karena tidak adanya keberpihakan sistem pengambil kebijakan.

Kegagalan ini diperkuat dengan lemahnya bargaining position sumber daya pertanian atau agroindustri selama ini. Berbagai kebijakan pemerintah yang gagal dan tidak berpihak pada pertanian ditunjukan dengan perwilayahan komoditi yang tidak jelas sehingga keinginan untuk maju tidak ada dan pembinaan agroekosistem yang tidak jelas. Kebijakan pembangunan yang tidak mengoptimalkan resourced based industry dan cenderung memberikan insentif bagi broad based industry ini menyebabkan modal atau subsidi ke sektor pertanian menjadi kecil, petani dijadikan cost centre, hal ini menyebabkan inseminasi teknologi ke petani kecil menjadi rendah sekali (jika tidak ingin dikatakan tidak ada sama sekali), inseminasi teknologi rendah karena supply SDM yang bergerak di sana tidak ada. Karena dunia pertanian merupakan cost centre atau dunia yang tidak menguntungkan dengan dukungan infrastruktur yang rendah.

Krisis yang dialami seolah-olah dewa penyelamat bagi pengembangan sektor pertanian. Keberpihakan dan kebijakan berorientasi ke pertanian dengan subsidi yang dilipatgandakan, sangat terasa sekali. Namun, berbagai pihak masih menganggap kegiatan ini bersifat temporer belaka. Jika sifatnya masih temporer, bangsa ini akan kehilangan pijakan (dasar dari segala dasar) pembangunan ekonomi/nasional. Melalui kebijakan dan keberpihakan yang kontinyu, paradigma baru yang harus digunakan adalah bahwa petani harus diubah dari cost centre menjadi profit centre. Salah satu cara meningkatkan posisi pelaku on-farm menjadi pelaku yang juga aktif dalam kegiatan off-farm (processing), sehingga pertanian adalah dunia yang menjanjikan dan dari sinilah teknologi akan disuntikkan secara perlahan-lahan untuk memberikan value added bagi hasil pertanian.

Tinjauan Umum Agroindustri

Agroindustri sendiri dapat diartikan sebagai kegiatan industri yang memanfaatkan hasil pertanian sebagai bahan baku, merancang dan menyediakan peralatan serta jasa untuk kegiatan tersebut dalam usaha memberikan nilai tambah bagi produk bersangkutan. Pertanian disini juga berarti luas yang meliputi sub sektor peternakan, perikanan, budidaya pertanian, kehutanan, perkebunan dan hortikultura.

Dengan agroindustri, diharapkan dikotomi antara sektor pertanian dan industri dapat dihilangkan, artinya bahwa masyarakat kita tidak dapat dipisahkan dari sektor pertanian yang merupakan ciri dari masyarakat agraris, di lain pihak transformasi kepada masyarakat industri tidaklah akan berjalan dengan sempurna-bahkan mungkin akan bertabrakan jika industri yang dikembangkan sifatnya berbeda dengan masyarakat agraris. Intinya adalah agrobased industry merupakan model yang dapat menjembatani dua sektor ini menjadi paradigma baru yaitu agroindustri.

Agroindustri : Paradigma Baru

Tidak bisa kita pungkiri bahwa terdapat banyak permasalahan dalam pengembangan bidang agroindustri kita. Menurut Tim Interdepartemen Bappenas (1996), buah dan produk buah-buahan ditolak sebanyak 3 kasus dengan nilai 6.122,00 US$, sayur dan produk-produk sayuran sebanyak 8 kasus dengan nilai 308.996,00 US$ serta berbagai produk yang lain dengan total nilai sebesar 100.020.797,00 US$. Ironisnya adalah bahwa sumber daya pertanian kita masih belum sadar akan permintaan pasar yang menuntut kualitas yang memenuhi standar, antara lain dalam hal bentuk dan penampilan (appearance), keamanan dari residu pestisida (pesticide free product), ketahanan kemasan dan harga produk. Oleh karena itu transformasi pertanian menuju pertanian berbudaya industri perlu ditumbuhkembangkan. Intinya perlu ditingkatkan keterkaitan on-farm dengan off-farm sehingga dapat dicapai 3K (kualitas, kuantitas dan kontinuitas).

Permasalahan berikutnya adalah pada mahalnya jalur distribusi dan pemasaran yang ada sekarang. Estimasi pasar belum baik sehingga terjadi excess supply yang menyebabkan harga turun. Hal ini menuntut adanya informasi pasar yang mampu memberikan segala penjelasan tentang situasi dan kondisi pasar yang sedang terjadi. Sementara itu petani merupakan produsen yang sekaligus konsumen dan tidak tahu mata rantai pemasaran produknya. Ironinya lagi bahwa kepemilikan tanah terus menurun karena adanya fragmentasi sehingga ekspansi dilakukan di luar Jawa. Disamping itu SDM pertanian tidak mau turun ke desa, karena pada tataran teknis, orang yang paling ahli adalah petani itu sendiri.

Kondisi yang ada seperti diatas dapat diatasi dengan dua pendekatan sentral untuk membentuk masyarakat petani yang tidak asal bertani, namun mampu menangkap kemauan pasar dan mengantisipasinya.

1.    Pendekatan Sistem

Pertama, kondisi iklim usaha agroindustri sangat dipengaruhi oleh kebijaksanaan ekonomi secara makro (macro policy framework) seperti deregulasi dan debirokratisasi, pencegahan terjadinya kekuatan pasar yang monopolistik atau monopsonistik, perizinan, serta yang paling penting tentunya kesiapan kelembagaan keuangan khusus untuk membiayai pengembangan agrobisnis dan agroindustri, lembaga keuangan ini menjadi sangat penting artinya dengan kondisi perbankan seperti sekarang ini yang menerapkan suku bunga sangat tinggi akibat krisis.

Kedua, sistem dan jaringan kelembagaan agribisnis dan agroindustri yang efektif dan efisien. Sistem dan jaringan ini sangat berperan sekali terutama dalam hal pembinaan masalah manajerial, penurunan biaya transaksi di setiap tingkat agribisnis, pembangunan jaringan keterkaitan (link and macth) antara usaha tani (on-farm) dengan kegiatan di luar usaha tani (off-farm) yang mendukung, pembangunan jaringan keterkaitan antara peningkatan produktivitas (sektor hulu) dan pengolahan hasil (sektor hilir) dan tentu saja yang paling penting adalah pemberdayaan dan pengefektifan lembaga agribisnis itu sendiri. Di tingkat desa telah dikenal dengan baik adanya koperasi ataupun koperasi unit desa, peran dan fungsi dari lembaga agribisnis dapat pula dicoba ditransformasikan dalam berbagai kegiatan koperasi.

Ketiga, adanya political will dari pihak pemerintah untuk lebih memihak kepada usaha kecil. Sementara ini dirasakan sekali berbagai kebijakan (policy) yang dibuat lebih berpihak pada investasi skala makro dan berskala besar. Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1998-2003 telah jelas tersurat:
"Pembangunan agroindustri dan agrobisnis dilaksanakan secara terpadu dengan pembangunan pedesaan dalam rangka mempercepat dan memantapkan proses industrialisasi pedesaan melalui penumbuhan sentra-sentra pengembangan agrobisnis komoditas unggulan berskala ekonomi yang mampu menghasilkan produk-produk unggulan berdaya saing tinggi dan sekaligus mendukung pemberdayaan pengusaha kecil, pengusaha menengah dan koperasi"
dengan memperkuat fundamental usaha skala kecil di desa-dalam konteks agroindustri-diharapkan akar usaha agroindustri di tingkat desa akan tertancap dalam dan tidak mudah goyah.

2.    Pendekatan Sosio-Kultur Masyarakat Desa

Parameter fisik yang selama ini digunakan terbukti tidaklah begitu efesien dalam menumbuhkembangkan usaha agroindustri pedesaan skala kecil. Paradigma baru yang seharusnya dikembangkan adalah dengan pembangunan yang sifatnya strukturan tanpa mencabut nilai-nilai akar budaya yang sifatnya fundamental. Artinya dalam penyusunan program kerja didasarkan pada sistem sosial kemasyarakatan yang telah ada. Dari sistem yang telah ada ini dan didukung oleh data-data penunjang lain seperti komoditas unggulan dan sebagainya maka dapat dicari celah-celah mana yang dapat dimasuki tanpa adanya benturan-benturan yang dapat menghambat usaha-usaha transformasi yang akan dilakukan. Selanjutnya tentu saja dilakukan usaha-usaha untuk meningkatkan produktivitas dan kontinuitas produksi komoditi unggulan tersebut. Hal ini sangat dibutuhkan karena jika kita bicara masalah agroindustri, walaupun dalam skala yang kecil, kontinuitas dan ketersediaan bahan baku dalam jumlah yang cukup akan sangat mempengaruhi kelangsungan usaha. Peningkatan produktivitas tersebut dapat diintegrasikan dengan berbagai sektor penunjang seperti perikanan, peternakan atau pemanfaatan dan perluasan konsep agroforestry atau agrofisheries.

Tidak berhenti pada peningkatan produktivitas, sektor hilir juga harus sudah ditumbuhkembangkan baik berskala rumah tangga atau kolektif. Melalui sistem processing inilah usaha agroindustri mulai berjalan engan tujuan memberikan nilai tambah (value added) pada produk bersangkutan serta merubah keunggulan komparatif produk menjadi keunggulan yang kompetitif. Sekali lagi pada tahap ini juga harus dianalisa secara sosial kemasyarakatan sehingga mudah diterima dengan lapang dada oleh masyarakat desa. Kebanyakan produk agroindustri kita kalah dalam pertarungan ronde pertama, artinya dari segi penamplan saja sudah tidak menarik dan meyakinkan, oleh karena itu melalui pemrosesan ini perlu juga ditindaklanjuti dengan teknologi pengemasan yang sesuai dan sederhana. Dengan penampilan yang menarik dan sedikit cool, konsumen akan mencoba melihat dan merasakan, selanjutnya kualitas an selera yang akan menentukan.

Tahap akhir dari rangkaian kegiatan agroindustri ini tentu saja adalah pendistribusian produk dan pemasaran. Disinilah peran dari lembaga agribisnis dan agroindustri sangat straegis, lembaga ini akan sangat membantu sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah untuk mengkoreksi distorsi atau kegagalan pasar (market failure). Pemasaran hasil tidaklah dapat dipisahkan dari pendapatan yang akan diterima oleh petani yang telah berorientasi industri, karakteristik masyarakat desa setelah mendapatkan hasil terutama saat panen raya atau setelah diolah dan mendapatkan uang yang tidak sedikit jumlahnya adalah cenderung untuk konsumtif. Dibeberapa daerah didapatkan masyarakat desa lebih suka berbondong-bondong membeli parabola daripada menyimpan uangnya sebagai modal kemudian, bahkan budaya kawin lagi sudah tak asing lagi berkaitan dengan keberhasilannya tersebut. Pola pikir yang demikian yang kemudian akan menjerumuskan mereka sendiri, sekali lagi melalui kelembagaan agribisnis yang ada serta keterkaitan dengan jaringan dari sektor ekonomi masalah ini dapat dicari jalan keluarnya yang tetap disusun berdasarkan kerangka sosial kemasyarakatan yang ada.

Sebagi pelengkap tentunya, tidak ada salahnya masyarakat desa diperkenalkan dengan sistem hukum formal dengan sederhana. Hal ini menjadi penting saat desa mulai terbuka dengan tata niaga produk agroindustri, maka desa telah membuka diri dengan dunia yang telah global, artinya bahwa dalam dunia global tidak hanya ada permainan bersih, namun juga permainan kotor. Melalui pengenalan hukum formal secara sederhana ini diharapkan masyarakat desa sedikit banyak tahu haknya dan tahu cara membela haknya jika terjadi permainan kotor. Dari berbagai lini yang telah diuraikan inilah diharapkan desa akan mandiri saat peran institusi yang menjadi stimulus mulai lepas. Dengan kata lain, saat desa dilepas maka desa telah siap menghadapi dunia luar karena baik dari sarana fisik, sektor hulu (produksi), sektor hilir (pengolahan), maupun sektor penunjang lain seperti pemasaran, manajemen dan hukum telah dipunyai. Dan yang terpenting tentunya adalah suasana sosial kemasyarakatan desa telah fleksibel dengan berbagai perubahan diluar dengan fundamental yang kuat tertancap.

Penutup

Melalui dua pendekatan sentral diatas, diharapkan tercipta hubungan timbal balik. Dari segi sistem yang ada diharapkan mampu memberikan iklim yang kondusif bagi berkembangnya agroindustri skala kecil dan menengah di pedesaan. Hal ini dipahami karena sementara ini sistem yang ada berpihak pada skala yang sifatnya makro dan besar. Dilain pihak, masyarakat desa sendiri harus dipersiapkan secara struktural untuk mengenal budaya industri-dalam hal ini agrobased industry-dari hulu sampai hilir dan sektor penunjangnya. Melalui pendekatan sosial kemasyarakatan yang tepat diharapkan struktur masyarakatnya menjadi fleksibel dengan perubahan tanpa harus mencabut akar budaya yang fundamental. Oleh karena itu jika salah satu berubah karena suatu transformasi atau dengan kata yang sedang naik adalah "reformasi" maka sisi satunya lagi telah siap beradaptasi, demikian pula sebaliknya sebab baik atas maupun bawah telah dipersiapkan dengan matang.

Tidak dapat dipungkiri lagi agroindustri dan agribisnis merupakan senjata ampuh yang dapat digunakan untuk keluar dari masa-masa sulit karena krisis yang berkepanjangan. Saat iklim investasi lesu, agroindustri skala besarpun mengalami kelesuan. Saat tangan tidak dapat mengerjakan sesuatu yang ada di depan, maka tangan dapat berpegangan ke belakang. Artinya jika agroindustri kecil pedesaan kuat maka agroindustri besar dapat pulang ke rumah di masa sulit karena pondasi rumah telah kuat.